Serangan Israel ke Gaza hampir bisa dipastikan makin memperburuk hubungan Israel-Hamas. Konsekuensinya, peta perdamaian akan mengalami kebuntuan, bahkan kegagalan. Inilah hal yang tak pernah terpikirkan, baik oleh Israel maupun Hamas.
Menurut Marwan Bishara (2008), analis politik stasiun televisi al-Jazeera, dampak dari serangan tersebut akan menggarisbawahi masa depan perdamaian. Dua sosok yang akan menanggung kerugian, yaitu Mahmud Abbas dan Presiden AS terpilih, Barack Obama.
Mahmud Abbas ditengarai sebagai pihak yang mempunyai hubungan mesra dengan Israel. Meskipun Abbas menyatakan, bahwa serangan Israel merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa ditolerir, tapi masyarakat Arab sudah kadung menggarisbawahi Mahmud Abbas sebagai pemimpin Otoritas Palestina yang gagal, karena tidak mampu meredam nafsu perang Israel yang dikenal ganas terhadap Palestina. Setidak dalam 60 tahun terakhir.
Sedangkan Obama, sejak kampanye hingga terpilih sebagai Presiden AS ke-44, dielu-elukan oleh dunia Arab sebagai harapan bagi perdamaian yang sesungguhnya. Bahkan di Timur-Tengah muncul slogan, “Obama Insya Allah”. Sebuah perasaan optimisme, bahwa Obama relatif mengenal realitas dunia Arab dan dunia Islam lainnya. Tapi, setelah serangan ke Gaza, mayoritas kalangan di Timur-Tengah mulai memunculkan kekecewaan terhadap Obama sebagai orang nomor satu di negara adidaya, yang sepertinya tidak akan berbuat apa-apa untuk mengedepankan kepentingan Timur-Tengah pada umumnya.
Tentu, pesimisme yang mulai tumbuh di Timur-Tengah akan semakin menciptakan psikologi kehancuran yang akan membebani kawasan ini bagi terbentuknya sebuah negara yang demokratis dan modern. Para analis hampir mengamini perihal dampak terburuk dari aksi militer Israel, yaitu hadiah bagi kalangan ekstremis untuk semakin menggiatkan aksi mereka. Di manapun, aksi militer disambut gegap gempita oleh kalangan ekstremis sebagai momentum untuk justifikasi dan legitimasi mereka, terutama untuk melakukan tindakan ekstrem, sebagaimana dilakukan Israel di Gaza.
Maka dari itu, adu kekuatan antara Israel dan Hamas dalam beberapa tahun terakhir sebenarnya telah menuai kerugian yang sangat besar bagi warga kedua belah pihak. Sebab apapun perseteruan yang muncul di antara keduanya, yang akan menjadi korban adalah warga yang tidak bersalah. Di tengah-tengah menguatnya intensitas kebencian dan konflik, pada hakikatnya selalu ada mereka yang menyuarakan perdamaian. Siapapun akan mengalami kelelahan dengan konflik yang tidak berpangkal dan tidak berujung itu.
Salah Kalkulasi
Sementara ini, dunia terbelah dalam dua kubu, pro dan kontra. Ada yang memihak serangan Israel, tetapi lebih banyak yang mengutuk tindakan yang menyerupai barbarisme dan terorisme itu.
Tapi, jika ditelusuri secara mendalam, pada hakikatnya kedua belah pihak, baik Israel maupun Hamas harus mendapatkan otokritik yang adil. Sebab, sikap kaku yang diperlihatkan keduanya telah menimbulkan dampak yang negatif bagi tatanan global yang lebih mengedepankan kemanusiaan, keadilan dan kedamaian.
Menurut, Hasan Abu Thalib (2008), analis politik dari Pusat Strategi dan Politik Harian Al-Ahram, bahwa tragedi Gaza merupakan bentuk dari kegagalan kalkulasi politik Israel dan Hamas.
Israel menganggap bahwa serangan militer merupakan pilihan terbaik untuk menciptakan ketenangan bagi eksistensinya. Israel sebenarnya tidak cukup belajar dari masa lalu, tatkala mereka menyerang Hizbullah di Libanon Selatan pada tahun 2006. Justru, aksi militer yang dilancarkan pihaknya makin menjadikan Hizbullah semakin populer
Yang paling fatal dari salahnya kalkulasi politik Israel adalah jatuhnya korban warga sipil, di antara mereka anak-anak dan kalangan perempuan. Bagaimanapun popularitas Israel di dunia internasional saat ini semakin terpuruk. Sebab, apapun dalih yang dilontarkan mereka perihal serangan yang merupakan balasan atas serangan yang dilancarkan Hamas, sebenarnya tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi pihak Israel menyatakan, bahwa Hamas harus bertanggungjawab atas jatuhnya korban warga sipil.
Dalam hal ini, Israel ibarat lempar batu tapi sembunyi tangan. Siapapun akan memandang bahwa jatuhnya korban disebabkan serangan Israel yang brutal dan membabi-buta. Serangan mereka tidak mungkin mengenyahkan Hamas, karena kekuatan Hamas bukan pada fisik mereka, melainkan pada ideologi yang digunakan dalam gerakan mereka. Maka, cara terbaik untuk melumpuhkan Hamas adalah menghadirkan ideologi baru yang lebih relevan dengan kepentingan bangsa Palestina dan dunia pada umumnya.
Sedangkan bagi pihak Hamas, apa yang mereka lakukan dengan meluncurkan rudal ke Israel Selatan merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan. Tindakan tersebut apapun merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan genjatan senjata yang ditanda-tangani sejak bulan Juni 2008.
Menurut Hasan Abu Thalib, tindakan perlawanan pihak yang terjajah, seperti Hamas merupakan hak, bahkan kewajiban. Tetapi, mengenyampingkan pertimbangan politik, strategi dan kepentingan Palestina secara umum, pasti akan menimbulkan kerugian yang tidak terbayarkan. Apalagi pernyataan Khaled Mash’al, bahwa serangan ke pihak Israel merupakan kehendak politik warga Palestina. Jika Israel melakukan balasan, maka dunia akan tergerak untuk memberikan dukungan terhadap Hamas.
Nalar politik seperti ini, menurut Hasan Abu Thalib, merupakan nalar politik yang tidak jitu. Ia hanya berdasarkan asumsi dan ambisi politik semata. Padahal, dalam setiap tindakan politik yang memberikan dampak besar harus ada pemikiran yang matang.
Memang, Hamas sudah mengantongi dukungan dari Iran, Suriah dan Hezbollah. Tetapi, harus diakui mayoritas pemimpin dunia Arab masih mempunyai pertimbangan politik yang berbeda. Dunia Arab yang lain memandang bahwa Israel merupakan kawan politik yang menguntungkan mereka. Karena itu, tidak sedikit dari mereka yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Dengan demikian, politik pada hakikatnya mempunyai kalkulasi tersendiri, apalagi yang berkaitan dengan masalah terpelik dalam 60 tahun terakhir. Konflik Israel-Palestina merupakan batu sandungan tersendiri bagi tatanan dunia. Ia akan menjadi agenda yang paling rumit untuk dipecahkan. Jalur agresi dan jalur diplomasi sudah terbukti selalu berakhir dengan kegagalan. Jalur yang masih mungkin adalah jalur destini.
Arab Moderat
Jika konflik Israel-Hamas begitu rumit, di manakah kira-kira solusinya? Tidak lain, solusinya terdapat pada kelompok Arab moderat. Yaitu negara-negara yang selama ini mendukung kesepakatan perdamaian antara pihak Israel dengan pihak Palestina. Mesir, Jordania, Libanon, Saudi Arabia dan Dubai, merupakan negara yang masih disegani di Timur-Tengah.
Tapi, sekarang mereka sedang menghadapi tantangan yang tidak mudah, karena warga Arab sedang pada puncak ketidakpercayaan terhadap para pemimpinnya. Bahkan, mereka disinyalir sebagai penyokong utama di balik serangan Israel ke Gaza. Utamanya, Mesir yang didemo di pelbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Tanah Air.
Mesir diduga bersekongkol dengan Israel, karena beberapa hari sebelum serangan dilakukan, Presiden Husni Mubarak bertemu dengan Menteri Luar Negeri Isrel, Tzipi Livni. Pertemuan tersebut diduga sebagai upaya kesepakatan untuk menutup Rafah, yang merupakan perbatasan antara Mesir-Gaza. Upaya tersebut dilakukan oleh Israel, sehingga tokoh-tokoh kunci Hamas tidak bisa melarikan diri.
Maka dari itu, Hasan Narullah, pemimpin tertinggi Hizbullah mengecam habis-habisan Mesir sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas serangan Israel ke Gaza. Ia juga meminta kepada warga Mesir untuk melakukan protes besar-besaran terharap Husni Mubarak.
Para analis dan diplomat Mesir juga merespon balik terhadap tuduhan Hasan Nasrullah, karena Hamas juga sebenarnya melakukan kebijakan serupa, tatkala mereka tidak memperkenankan warga Palestina yang hendak keluar dari Rafah untuk melaksanakan ibadah haji. Sikap Hamas yang seperti itu juga menimbulkan reaksi dari pemerintah Mesir.
Apapun yang terjadi, sikap politik faksi Arab moderat harus mempertimbangkan kepentingan rakyat Palestina dan dunia Arab pada umumnya. Satu hal yang sangat fundamental adalah faksi Arab moderat harus mampu meyakinkan Israel, bahwa jalur serangan militer dan kekerasan, tidaklah tepat digunakan untuk menyelesaikan masalah pelik Israel-Hamas. Sesulit apapun sejatinya dapat menempuh jalur diplomasi. Memang butuh waktu dan kesabaran, tetapi itulah pilihan yang paling baik.
Faksi Arab moderat harus bisa meyakinkan Hamas dan Israel untuk mencari solusi yang lebih baik bagi masa depan mereka. Serangan militer telah terbukti gagal dan menelan korban yang tidak sedikit. Di samping, faksi Arab moderat harus mampu meyakinkan Fatah dan Hamas harus membuat nota-kesepahaman bagi kepentingan dalam negeri Palestina sendiri. Sebab, konflik internal tidak lebih pelik daripada konflik dengan Israel.
http://zuhairimisrawi.wordpress.com/2009/01/08/israel-hamas-dan-arab-moderat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar